TUKANG RAMAL

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

`Arraf (tukang ramal) yaitu orang yang mengaku mengetahui tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya. (Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid bab Maa Jaa’a fil Kuhhan wa Nahwihim halaman 337 tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Furaiyan. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi [XII/182] dan Majmu’ Fataawa [XXXV/173, 193-194] Karya Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Di dalam Shahiihul Bukhari, dari hadits `Aisyah -radhiyallahu anha- bahwa ia pernah berkata: “Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- pernah memiliki seorang budak laki-laki yang makan dari upah yang diberikannya. Suatu hari budak itu datang menemuinya dengan membawa makanan. Lalu Abu Bakar Radhiyallahu anhu memakannya. Budak itu tiba-tiba berkata kepadanya: Tahukah engkau dari mana aku mendapatkan makanan itu? Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- balik bertanya: Dari mana? Budak itu menjawab: Dahulu di masa Jahiliyyah aku pernah berlagak meramal untuk seseorang, padahal aku tidak bisa meramal. Aku sengaja menipunya. Lalu dia menjumpaiku lagi dan memberiku upah itu. Itulah yang engkau makan tadi. Serta merta Abu Bakar -radhiyallahu `anhu- memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, sehingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 3842).

Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad”. (Riwayat Ahmad no. 9532. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Untuk di negeri kita, tukang ramal lebih dimaknai kepada hal yang berkaitan dengan melihat nasib di masa mendatang, menyingkap yang ghaib, hal ini terkadang juga dilakukan oleh para dukun.

Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- juga bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima”. (Riwayat Muslim no. 2230).

Maksud tidak diterima shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi: “Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya”. (Syarh Shahih Muslim [14: 227]).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullahu- berkata: “Dzahir hadits ini, ialah barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak. Adapun hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi menjadi beberapa jenis:

Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima”. Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada tukang ramal itu menunjukkan tentang keharamannya, karena tidaklah hukuman atas suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.

Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran, karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur’an di mana Allah berfirman:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Artinya: “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah. (Surat An-Naml : 65).

Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan maksud untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak termasuk dalam hadits di atas. Nabi -shallallaahu alaihi wa sallam- pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad: Apa yang aku sembunyikan darimu? Ibnu Shayyad menjawab: Asap, maka Nabi menjawab: Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu”. (Riwayat Al-Bukhari no. 1355, dan Muslim 2931).

Keempat: bertanya dengan maksud untuk menampakkan kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian mengujinya dalam rangka menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka hal ini dianjurkan, bahkan hukumnya terkadang menjadi wajib. Karena menjelaskan bathilnya perkataan dukun tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib.

Maka larangan bertanya kepada tukang ramal tidaklah berlaku mutlak, akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar’i yang telah disebutkan”. (Lihat Kitab Al-Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [I/332] Cet. Darul Aqidah).

Catatan:

(1). Mendatangi dengan membenarkan tukang ramal dalam segala hal dengan keyakinan bahwa tukang ramal tersebut mengetahuinya dengan sendirinya, tanpa bantuan syetan yang mengabarkan, maka seperti ini dihukumi kafir (keluar dari Islam). Mengapa? Karena mengetahui hal ghaib secara khusus hanya Allah yang tahu. Allah Ta`ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”. (Surat Al-An’am: 59).

Allah juga berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Artinya: “Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. (Surat An-Naml: 65).

Sehingga jika seseorang meyakini bahwa tukang ramal tersebut mengetahui perkara ghaib (dengan sendirinya), maka ia kafir. Jika keyakinannya bahwa jin yang menyampaikan berita kepadanya dari berita malaikat dan ilham yang diperoleh seperti itu, lantas dibenarkan, ini tidak sampai kafir.

(2). Mendatangi tukang ramal dengan keyakinan bahwa tukang ramal tersebut mendapatkan ramalan dari setan sehingga si tukang ramal mengetahui ada barang yang hilang, terjatuh, pencuri, maka seperti ini ada dua jenis hukuman:

PERTAMA, Tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.

KEDUA, Kufur terhadap apa yang telah diturunkan pada Muhammad, yang dimaksud adalah kufur ashgor.

Semoga bermanfaat. Segala puji untuk Allah yang dengan nikmat-Nya terselesaikan amal-amal shalih.

|Kotaraya, Sulawesi Tengah. Selasa 23 Jumaadal Uula 1440 H/29 Januari 2019 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *