MAAFKANLAH!

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

Memaafkan, adalah amalan yang kadang seseorang lebih memilih amalan lain saja yang lebih sulit dan rumit serta berresiko ketimbang harus memaafkan. Padahal sudah lumrah sejak zaman dahulu kala bahwa manusia tak luput dari salah, hanya saja manusia lebih bisa memaafkan dan memberi udzur kepada dirinya sendiri, adapun kepada orang lain seringnya lebih memilih memberi sangsi atas luka yang menganga, hati yang teriris derita, hak yang terabaikan sia-sia, pengkhianatan yang selalu membekas di dada.

Karena beratnya amalan ini, sampai-sampai Allah mengkhususkan dalam ayat-Nya tentang hal m-e-m-a-a-f-k-a-n:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Surat Ali Imran Ayat 133-134).

Memaafkan dan menahan marah adalah dua hal yang sebenarnya berbeda, menahan marah adalah sebatas sikap meninggalkan balas dendam tatkala mampu melampiaskan, sedangkan memaafkan adalah selain meninggalkan dendam juga berlapang dada meluluh-lantakkan ego yang sedang menyala terhadap orang yang telah melukai hatinya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy menjelaskan tentan ayat “dan mema’afkan (kesalahan) orang lain”: termasuk dalam tindakan memaafkan orang adalah memaafkan segala hal yang terjadi dari orang yang telah berbuat jelek kepada kita baik kejelekan dengan perkataan mupun perbuatan. Memaafkan itu adalah sikap lebih luas lagi ketimbang sekedar menahan marah. Karena memaafkan itu adalah tindakan meninggalkan balas dendam disertai dengan sikap kelapangan dada terhadap orang yang berbuat jelek. Itu hanya dapat terjadi dari orang-orang yang menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji dan jauh dari akhlak yang tercela, dan sikap memaafkan juga hanya terjadi dari orang-orang yang melakukan perdangan dengan Allah dan ia memaafkan hamba-hamba Allah sebagai suatu kasih sayang kepada mereka dan merupakan tindakan kebaikan kepada mereka serta benci bila terjadi keburukan yang akan menimpa mereka, itu semua ia lakukan agar Allah mengampuni dirinya sehingga mendapatkan pahala di sisi Allah yang Maha Mulia, bukan pahala dari sang hamba yang miskin, sebagaimana Allah berfirman dalam ayat yang lain:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Artinya: “tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim”. (Surat Asy-Syuura Ayat 40). (Lihat Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan halaman 148 Cet. Makatabah An-Nubalaa’ Karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy).

Ketika pemaafan perkaranya lebih luas ketimbang menahan marah, maka seseorang ketika mampu memaafkan artinya juga mesti mampu menahan amarahnya, tidak mengungkit kesalahan lawannya, tidak membuat makar untuk mendzoliminya.

Memaafkan orang lain memang begitu berat, bagaimana tidak? Keutamaannya besar dan menggiurkan. Sudah lumrah bahwa pendapatan atau hasil yang menjanjikan tentu upaya mencapainya mesti berjerih payah berlelah-lelah. Di antara keutamaan memaafkan orang lain adalah sebagai berikut:

(1). Menjadi mulia di sisi Allah, termasuk juga di kalangan manusia.

Rasululullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

Artinya: “Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah -subhanahu wa Ta`ala- menambahkan untuk seorang hamba yang mau memaafkan kecuali Allah tambahkan kemuliaan, dan tidaklah seorang rendah hati (tawadhu’) karena Allah -subhanahu wa Ta’ala- melainkan Allah  akan mengangkat (derajatnya)”. (Riwayat Muslim no. 2588).

(2). Memperoleh kecintaan dan ampunan dari Allah.

Memaafkan termasuk sikap kasih sayang seseorang kepada sudaranya, dan siapa yang penyayang akan disayangi oleh Allah. Rasululullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

ارْحَمُوا تُرْحَمُوا وَاغْفِرُوا يَغْفِرِاللهُ لَكُمْ

Artinya: Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi oleh Allah, dan berilah ampunan niscaya Allah akan mengampunimu”. (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293).

Al-Munawi –rahimahullahu- berkata: “Allah mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah -subhanahu wa ta`ala- juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut”. (Lihat: Faidhul Qadir [1/607]).

Abu Bakr -radhiyallahu ‘anhu- dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antara mereka yang diberi nafkah adalah Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Ketika tersebar berita dusta seputar `Aisyah binti Abi Bakr yaitu istri Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-, Misthah malah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah -subhanahu wa ta’ala- menurunkan ayat yang menjelaskan kesucian `Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah -subhanahu wa ta’ala- memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr -radhiyallahu `anhu- bersumpah untuk memutuskan pemberian nafkah kepadanya. Maka Allah -subhanahu wa ta`ala- menurunkan firman-Nya:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (Surat An-Nur Ayat 22).

Abu Bakr -radhiyallahu `anhu- mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah mengampuniku.” Lantas Abu Bakr -radhiyallahu `anhu- kembali memberikan nafkah kepada Misthah -radhiyallahu `anhu-. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (Surat At-Taghabun ayat 14).

(3). Memperoleh kecintaan dari sesama hamba dan memadamkan pertikaian di antara mereka sehingga seakan teman yang saling setia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”. (Surat Fushshilat ayat 34-35).

Ibnu Katsir –rahimahullahu- menerangkan: “Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi menjadi merapat denganmu, menjadi mencintaimu, dan menjadi condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma- mengatakan: Allah -subhanahu wa ta`ala- memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah akan menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat”. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim [4/426] Cetakan Maktabah Ar-Rusyd). Wallahu A`lam.

|Kotaraya, Sulawesi Tengah, Kamis 20 Jumaadal Aakhirah 1439 H. /08 Maret 2018 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *