FAIDAH HADITS KE 1486 KITAB BULUGHUL MARAM

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

KEBAIKAN DAN DOSA

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ رضي الله عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Artinya: “Dari An-Nawwas bin Sam`an –radhiyallahu`anhu- ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- tentang kebaikan dan dosa, Maka beliau bersabda: Kebaikan adalah baiknya akhlak, dan dosa adalah apa-apa yang membuat hatimu bimbang serta engkau tidak suka bila perkara tersebut terbongkar diketahui oleh manusia”.

Riwayat Hadits:

(Hadits ini diriwayat oleh Imam Muslim no. 2553, At-Tirmidzi no. 2389 dan ia mengatakan hadits ini hasan shahih, Ahmad no. 17179).

Faidah Hadits:

1). Hadits ini menjelaskan tentang fitrah manusia.[1] Manusia itu naluri hatinya akan merasa tenang dengan amal-amal kebaikan yang dikerjakannya dan akan tergoncang sesak ketika bermaksiat kepada Allah ta`ala, ini terjadi selama hatinya masih sehat bercahaya.

2). Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami –rahimahullah- berkata: Al-Birru, kebaikan, adalah suatu nama yang mencakup setiap perbutan baik dan perkara-perkara kebaikan, dan pemaknaan ini adalah pemaknaan yang sudah cukup. Di dalam hadits An-Nawwas bin Sam`an ini Nabi mendefinisikan kata Al-Birru (kebaikan) dengan makna baiknya akhlak. Sedangkan pada hadits Abu Tsa`labah All-Khusyani[2] Nabi mendefinisikan Al-Birru (kebaikan) dengan sesuatu yang jiwa merasa tentram padanya.[3]

3). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan: makna Al-Birru adalah sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”. (Surat Al-Maidah ayat 2).

Dan Al-Birru juga merupakan kalimat yang menunjukkan akan banyaknya kebaikan. Sedangkan Husnul Khuluq maknanya adalah baiknya akhlak kepada Allah, baiknya akhlak kepada hamba-hamba Allah. Dalam hal baiknya akhlak kepada Allah maka hendaknya engkau menerima hukum-hukum Allah dengan ridha dan berserah diri, jangan sampai ada rasa keberatan dalam jiwamu termasuk pula jangan sampai ada rasa sempit sedikitpun, apabila Allah memerintahkan kepadamu untuk shalat, zakat, puasa dan yang lainnya maka hendaknya engkau menerimanya dengan dada yang lapang.

Perintah dalam hal berbuat baik (husnul khuluq) kepada Allah ini juga diperintahkan dalam ketetapan-ketetapan yang Allah taqdirkan, karena manusia itu tidak selamanya dalam keadaan senang terus, terkadang akan mengalami kesedihan baik karena hartanya, atau keluarganya, atau pada dirinya sendiri atau pada masyarakatnya,. Dan yang menaqdirkan itu semua adalah Allah -`azza wa jalla-, maka berbuat baiklah kepada Allah dengan menunaikan apa yan diperintahkan  dan menjauhi apa yang engkau dilarang darinya.

Adapun tentang berbuat baik kepada hamba-hamba Allah maka telah berlalu penjelasannya yaitu: suka memberi, menghilangkan gangguan, bersabar, wajah yang berseri.[4]

4). Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-`Abbad Al-Badr berkata: Al-Birru (kebaikan) adalah sebuah ungkapan yang meliputi amalan-amalan bathin yang terdapat dalam hati, dan juga amal-amal dzohir yang terdapat pada lisan dan anggota badan.[5]

5). Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menjelaskan: Al-Birru Husnul Khuluq penjelasannya adalah bahwasannya baiknya akhlak merupakan bagain terbesar dalam makna Al-Birru (kebaikan), namun bukan berarti bahwa kebaikan itu hanya sebatas baiknya akhlak saja, baiknya akhlak adalah bagian terpenting  dari cabang-cabang Al-Birru (kebaikan). Sebagaimana sabda Nabi –shallallahu`aalaihi wa sallam- (artinya): Haji Adalah (wuquf) di Arofah[6], bukan berarti wuquf di Arofah adalah satu-satunya rukun haji, namun ia adalah rukun yang paling penting. Sebagaimana sabda beliau –shallallahu`aalaihi wa sallam-:  Doa adalah ibadah[7], bukan berarti doa adalah satu-satunya jenis ibadah namun ia bagian dari sekian jenis-jenis ibadah, dan ia juga merupakan jenis ibadah yang paling agung. Maka husnul khuluq (baiknya akhlak) adalah salah satu jenis Al-Birru dan merupakan yang paling agung.[8]

6). Di antara keutamaan akhlak yang baik adalah sebagai berikut:

1)). Baiknya akhlak adalah salah satu tanda sempurnanya keimanan seseorang. Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya”.[9]

2)). Baiknya akhlak seseorang adalah sebab mendapat kecintaan dari Rasulullah dan dekat dengan beliau. Beliau –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku tempatnya pada hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya diantara kalian”.[10]

3)). Baiknya akhlak adalah di antara kelebihan dan keutamaan Nabi kita –shallallahu`alaihi wa sallam- di mana beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Allah ta`ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Surat Al-Ahzab Ayat 21).

4)). Beliau berada pada baiknya akhlak dan manusia pemilik akhlak terbaik karena akhlak beliau adalah akhlak Al-Qur’an. Makananya yakni Seluruh akhlak yang ada dalam Al-Qur`an beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan semuanya. `Aisyah mengatakan:

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ القُرآنَ

Artinya: “ Sesungguhnya akhlak Nabi adalah (mengamalkan adab-adab) yang terapat dalam Al-Qur’an”.[11]

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan hadits ini, beliau mengatakan: maknanya adalah bahwa beliau mengamalkan Al-Qur’an, beliau berhenti pada batasan-batasan yang terdapat di dalam Al-Qur’an (tanpa menerjang larangan yang terkandung di dalamnya), beliau beradab dengan adab-adab yang ada di dalamnya, beliau mengambil pelajaran dari kisah-kisah dan permisalan yang ada di dalamnya, beliau mentadabburinya, dan beliau membacanya dengan sebaik-baik bacaan.[12]

5)). Bukti bahwa baiknya akhlak adalah sesuatu yang utama bisa dilihat bahwa Nabi kita –shallallahu`alaihi wa sallam- diutus untuk menyempurnakannya, jika akhlak-akhlak baik ini bukan sesuatu yang penting tentu tidak perlu disempurnakan namun cukup dihapus saja dalam syariat. Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diitus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.[13]

6)). Orang yang memiliki akhlaq yang bagus adalah sebaik-baiknya manusia. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”.[14]

7)). Akhlaq mulia merupakan bagian penting dalam agama. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً ، وَإِنَّ خُلُقَ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya bagi setiap dien memiliki akhlaq, dan akhlaq Islam adalah malu”.[15]

8)). Akhlaq yang mulia akan mengantarkan ke derajat orang yang senantiasa mengerjakan puasa dan shalat malam. Diriwayatkan dari ‘Aisyah -radiyallahu ‘anha-, ia berkata bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Artinya: “Sesungguhnya dengan akhlaq mulia seorang mukmin akan sampai ke derajat orang yang mengerjakan puasa dan shalat malam”.[16]

9)). Akhlaq mulia itu berat timbangannya di akhirat. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjelaskan betapa beratnya nilai timbangan akhlaq mulia di akhirat kelak jika dibandingkan dengan seluruh amalan. Beliau bersabda:

مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat timbangannya dari akhlaq mulia ketika diletakkan di atas mizan (timbangan amal)”.[17]

10)). Orang yang berakhlak baik adalah orang yang paling dicintai oleh Allah. Diriwayatkan dari Usamah bin Syariik bahwa para shahabat bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ عِبَادِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: “Para shahabat bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah hamba yang paling dicintai oleh Allah? Beliau menjawab: yang paling baik akhlaknya”.[18]

11). Akhlak baik adalah amalan yang paling sering memasukkan hamba ke surga. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

أَكْثَرُ مَا يَلِجُ بِهِ الْإِنْسَانُ النَّارَ الْأَجْوَفَانِ الْفَمُ ، وَالْفَرْجُ ، وَأَكْثَرُ مَا يَلِجُ بِهِ الْإِنْسَانُ الْجَنَّةَ تَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Artinya: “Perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah al-ajwafan, yaitu mulut dan kemaluan. Sedangkan perkara yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan baiknya akhlak”.[19]

12). Akhlak yang baik adalah merupakan pemberian yang terbaik dari Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah -shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّ النَّاسَ لَمْ يُعْطَوْا شَيْئًا خَيْرًا مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya: “Sesungguhnya manusia tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik dibanding akhlak yang baik”.[20]

7). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan: Dosa adalah lawan dari makna kebaikan, karena Allah ta`ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Surat Al-Ma’idah ayat 2).

Lalu apa yang dimaksud dengan dosa? Dosa adalah (sebagaimana dalam hadits) apa-apa yang membuat hatimu bimbang, yakni engkau menjadi ragu dan jiwamu bergoncang. Serta engkau tidak suka bila perkara tersebut terbongkar diketahui oleh manusia karena yang engkau lakukan adalah tindakan yang tercela dan aib, sehingga engkau menjadi ragu-ragu di dalamnya dan menjadi benci jika manusia mengetahuinya.

Namun hati yang seperti itu hanyalah hati yang jernih dan selamat, pemilik hati seperti inilah yang hatinya akan bimbang setiap jatuh dalam dosa dan ia benci bila sampai terbongkar di hadapan manusia.

Adapun bila orang-orang yang mengalami kebimbangan  adalah mereka yang seringnya tidak taat kepada Allah, yang hatinya keras, maka ia tidak akan memperdulikannya bahkan malah bersenang-senang dalam kemungkaran dan dosa nya. Maka ungkapan (bahwa seseorang yang jatuh dalam dosa akan merasa bimbang dan bergoncang) ini bukanlah terjadi pada setiap jiwa, namun hanya akan terjadi khusus bagi mereka yang memiliki hati yang selamat, hati yang suci dan hati yang bertaqwa. Sehingga bila ia bertekad untuk melakukan suatu dosa meskipun ia tidak mengetahui kalau perkara tersebut adalah dosa dari sisi syari`at, namun ia akan mengetahui dari sebab tergoncangnya hatinya yang menolak amalan tersebut yang benci bila sampai terbongkar di hadapan manusia. Perkara ini adalah suatu hal yang akan mengikat manusia –pada suatu keyakinan- dan bukan berarti ini suatu kaidah[21], namun seperti itulah tanda-tanda suatu dosa bila mengenai hati seorang mukmin.[22]

8). Dosa itu memiliki dua tanda, pertama: tanda yang berasal dari dalam jiwa yaitu seseorang merasakan kegelisahan, kegoncangan dan kebimbangan di dalam jiwanya serta ingin lari dari amalan tersebut dan membencinya. Kedua: tanda yang berasal dari luar jiwa yaitu ketika seseorang tidak suka bila ada orang lain yang melihatnya sehingga bisa terbongkar aibnya.

9). Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-`Abbad Al-Badr berkata: sesungguhnya seorang mukmin yang takut kepada Allah tentu tidak akan mengerjakan amalan-amalan yang tidak akan membuat hatinya tenang, walaupun manusia memfatwakan atau mengajak untuk mengerjakannya (ia tetap tidak mau), kecuali perkara-perkara yang sudah jelas dalam syariat semisal rukhsah atau keringanan dalam syari`at.[23]

10). Wajibnya tunduk dan patuh kepada wahyu meskipun para pemberi fatwa membolehkan, menganjurkan atau membujuknya bahwa itu bukan dosa. Misalnya bila ada yang memfatwakan bolehnya berdzikir sambil berjoget, maka mesti ditolak, karena hati yang jernih tidak akan bisa menerima hal ini, meskipun pemberi fatwa membolehkannya.

11). Bila pemberi fatwa memiliki dalil syar`I maka peminta fatwa wajib mengikutinya meskipun dadanya sesak, tidak senang, atau tidak ridha. Misalnya saja tentang rukhshah (keringan) untuk tidak berpuasa ketika sedang safar, hal ini dianggap sesuatu yang menyulitkan bagi orang-orang bodoh karena mereka merasa akan punya tanggungan yang mengganggu aktifitas di luar Ramadhan nanti bila mesti membayar qhadha` puasa.

12). Kebenaran dan kebathilan itu perkaranya tidak akan tersamar bagi seorang mukmin yang memiliki bashirah (ilmu dan keyakinan).[24]

13). Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-`Abbad Al-Badr berkata: -ini memberi faidah- tentang semangatnya para shahabat –radhiyallahu `anhum- dalam mengilmui perkara yang halal dan haram.[25]

Segala puji untuk Allah yang dengan nikmat-Nya terselesaikan amal-amal shalih, tulisan ini adalah ringkasan dari materi kajian bulanan di Masjid Umar bin Khaaththab desa Supilopong Kec. Tomini Sulwesi Tengah Pada Hari Kamis Malam Jum’at 13 Jumadal Akhirah 1439 H/1 Maret 2018 M.

|Kotaraya, Sulawesi Tengah. Selasa 11 Jumaadal Aakhirah 1439 H/ 27 Februari 2018 M.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Silahkan Dukung Dakwah Pesantren Minhajussunnah Al-Islamiy Desa Kotaraya Sulawesi Tengah Dengan Menjadi DONATUR.

REKENING DONASI: BRI. KCP. KOTARAYA 1076-0100-2269-535 a.n. PONPES MINHAJUSSUNNAH KOTARAYA, Konfirmasi ke nomer HP/WA 085291926000

PROPOSAL SINGKAT DI http://minhajussunnah.or.id/santri/proposal-singkat-program-dakwah-dan-pesantren-minhajussunnah-al-islamiy-kotaraya-sulawesi-tengah/

———————————————————————————————————————

[1] Fitrah adalah tindakan-tindakan yang JIKA dilakukan oleh manusia maka orang yang melakukannya berada dalam tabiat yang memang demikianlah Allah menghendeki hamba-Nya. Di mana tabiat-tabiat tadi memang mesti terkumpul atau ada pada mereka. Allah menjadikan perkara-perkata tabiat tadi adalah perkara yang mereka sukai –mestinya-, dan jika hal-hal tersebut terwujud niscaya akan menjadikan mereka memiliki sifat yang paling sempurna dan penampilan yang paling bagus. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah [I/97]).

[2] Maksudnya adalah sabda Nabi berikut:

وعن وابِصَةَ بنِ مَعْبَدٍرَضِي اللهُ عَنْهُ قالَ: أتيتُ رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقالَ: جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ

قالَ: اسْتَفْتِ قَلْبَكَ؛ الْبِرُّ مَا اطْمَأنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Artinya: “Dan dari Wabishah bin Ma`bad –radhiyallahu`anhu- ia berkata: Aku mendatangi Rasulullah- shallallahu`alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda: engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa?? Aku menjawab: Iya. Beliau bersabda: Minntalah fatwa kepada hatimu! Kebaikan adalah apa-apa yang jiwamu tentram dengannya, dan apa yang hatinya menjadi tenang. Dan dosa adalah apa saja yang membuat hatimu menjadi tergoncang, dadamu menjadi ragu, meskipun manusia memberimu dukungan dengan fatwa-fatwanya. (Hadits ini diperselisihkan para `ulama tentang keshahihannya, Allahu A`lam.

[3] Lihat Qawa`id Wa Fawa’id Al-Arba`in An-Nawawiyyah halaman 238 Karya Asy-Syaikh Nadzim Muhmmad Sulthan.

[4] Lihat Syarhu Al-Arba`in n-Nawawiyyah hadits ke 27 halaman 293-294 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

[5] Lihat Fathu Qawiyyil Matin Fii Syarhi Al-Arba`in Wa Tatimmatul Khamsiin hadits ke 27 halaman 92 karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-`Abbad Al-Badr.

[6] Riwayat At-Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015.

[7] Riwayat Abu Dawud no. 1479, At-Tirmidzi no. 2969.

[8] Lihat Al-Minhah Ar-Rabbaniyyyah Fii Syarhi Al-Arba`in n-Nawawiyyah hadits ke 27 halaman 218-219 karya 5 Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.

[9] Riwayat At-Tirmidzi no 1162.

[10] Riwayat At-Tirmidzi no. 2018.

[11] Riwayat Muslim no. 746.

[12] Syarhu Muslim III/258.

[13] Riwayat Ahmad no. 8939 ta`liq Syu`aib Al-Arna’uth, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 273, dan di shahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 45.

[14] Riwayat Al-Bukhari no. 5688.

[15] Riwayat Ibnu Majah no. 4181, Ath-Thabrani dalam Al-Ausath no. 1758.

[16] Riwayat Abu Daud no. 4798, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib no. 2643.

[17] Riwayat At-Tirmidzi no. 2003, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani  dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 876.

[18] Riwayat Ath-Thabrani no. 471, Al-Haitsami berkata: Rijalnya adalah rijal yang shahih, Ibnu Hibban no. 486, Syu`aib Al-Arna’uth berkata: sanadnya shahih, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam shahihul jami` no. 179.

[19] Riwayat Ahmad no. 7894, 9085, 9694. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 289, 294. Ibnu Majah no. 4246, At-Tirmidzi no. 2004, Ibnu Hibban no. 476. Dan dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani.

[20] Riwayat Ahmad no. 18477, Ibnu Hibban 6061, Ibnu Majah 3436, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam shahihul jami` no. 1977.

[21] Bukan berarti ini suatu kaidah yang sebagaimana digunakan oleh orang-orang sufi dalam mencari ilham melalui kata hati, bagaimana mungkin mereka akan mendapat ilham sedangkan amalan mereka jauh dari tuntunan kenabian, orang yang tidak berada di atas alamat sunnah tidak akan sampai pada tujuan kebaikan. Allahu A`lam.

[22] Lihat Syarhu Al-Arba`in n-Nawawiyyah hadits ke 27 halaman 294-295 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

[23] Lihat Fathu Qawiyyil Matin Fii Syarhi Al-Arba`in Wa Tatimmatul Khamsiin hadits ke 27 halaman 95 karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-`Abbad Al-Badr.

[24] Lihat Syarah Arba`in  An-Nawawi halaman 546 Karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

[25] Idem

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *