NARIMO ING PANDOM, RELA DENGAN PEMBAGIAN DARI ALLAH

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

Dalam kehidupan di dunia ini, sering kita menyaksikan tentang perpindahan rizki dari satu tangan ke tangan yang lain.

Bahkan kadang mampir di tangan kita namun sekedar titipan untuk diberikan kepada yang dituju oleh sang pemberi, dan bukan kita orangnya. Dalam kejadian tersebut, seorang hamba dituntut untuk menerima terhadap apa yang Allah putuskan. Dan ia sedang diuji untuk tidak merasa iri terhadap saudaranya yang Allah berikan anugerah di depan matanya. Kata pepatah jawa: “ojo milik barang kang melok”.

Bahkan Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Pokok zuhud adalah keridhaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.”

Seorang hamba dituntut untuk ridlo terhadap keputusan Allah, baik keputusan untuknya atau pun yang ia lihat pada saudaranya yang Allah lebihkan anugerah-Nya.

Sebagaimana ucapan Al-Fuhail bin `Iyadl lainnya: “Qana’ah adalah zuhud, yaitu rasa cukup. Barang siapa merealisasikan keyakinan, percaya penuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam segala urusannya, ridla terhadap pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk dengan terus berharap dan takut (kepada Allah), lalu hal tersebut mencegahnya dari mencari dunia dengan cara-cara yang makruh, maka dia telah merealisasikan hakikat zuhud terhadap dunia. Ia pun menjadi orang yang paling berkecukupan. (Jaami’ul Ulum wal Hikam hal. 392).

Dalam sejarah pendahulu kita, di sana terdapat kisah yang sangat menggugah jiwa dari kelalaiannya. Cerita tentang sosok manusia yang selalu menjaga hatinya dari sifat iri terhadap karunia Allah pada orang lain. Sampai-sampai karena amal tersebut laki-laki ini dicap sebagai laki-laki calon penghuni surga oleh Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam-.

Diceritakan dari Anas ibn Malik, dia berkata: “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam-, beliau bersabda: “Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki penghuni surga”, lalu muncul seorang laki laki Anshar yang jenggotnya masih bertetesan bekas air wudhu, sambil menggantungkan kedua sandalnya pada tangan kirinya.

Esok harinya Nabi –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda seperti itu lagi, lalu muncul laki-laki itu lagi seperti keadaan yang pertama, dan pada hari ketiga Nabi –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda seperti itu juga dan muncul laki laki itu kembali seperti keadaannya yang pertama.

Ketika Nabi –shallallahu`alaihi wa sallam-berdiri, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash –radliyallahu`anhu- mengikuti laki-laki tersebut dengan berujar: “Kawan, saya ini sebenarnya sedang bertengkar dengan ayahku dan saya bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari, jika boleh, ijinkan saya tinggal di tempatmu hingga tiga malam”, “Tentu”, jawab laki-laki tersebut.

Anas ibn Malik berkata, Abdullah (Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash) bercerita: aku tinggal bersama laki-laki tersebut selama tiga malam, anehnya tidak pernah aku temukan mengerjakan shalat malam sama sekali, hanya saja jika ia bangun dari tidurnya dan beranjak dari ranjangnya, lalu berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla dan bertakbir sampai ia mendirikan shalat fajar, selain itu juga aku tidak pernah mendengar dia berkata kecuali yang baik baik saja, maka ketika berlalu tiga malam dan hampir hampir saja aku menganggap remeh amalannya, aku berkata: “Wahai kawan, sebenarnya antara aku dengan ayahku sama sekali tidak ada percekcokan dan saling mendiamkan seperti yang telah aku katakan, akan tetapi aku mendengar Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda tentang dirimu tiga kali: “akan muncul pada kalian seorang laki-laki penghuni surga, lalu kamulah yang muncul tiga kali tersebut, maka aku ingin tinggal bersamamu agar dapat melihat apa saja yang kamu kerjakan hingga aku dapat mengikutinya, namun aku tidak pernah melihatmu mengerjakan amalan yang banyak, lalu amalan apa yang membuat Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- sampai mengatakan engkau ahli surga?”, laki-laki itu menjawab: “Tidak ada amalan yang saya kerjakan melainkan seperti apa yang telah kamu lihat”, maka tatkala aku berpaling laki laki tersebut memanggilku dan berkata: “Tidak ada amalan yang saya kerjakan melainkan seperti apa yang telah kamu lihat, hanya saja saya tidak pernah mendapatkan pada diriku, rasa ingin menipu terhadap siapa pun dari kaum muslimin, dan saya juga tidak pernah merasa iri dengki kepada seorang atas kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang”, maka Abdullah berkata, “Inilah amalan yang menjadikanmu sampai pada derajat yang tidak bisa kami lakukan.” (Riwayat Ahmad dari Anas ibn Malik, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/166, hadis no. 12720 dan An-Nasâi, Sunan an-Nasâiy, IX/318, hadis no. 10633).

Kisah yang menakjubkan, di mana kita saksikan kenyataannya memang demikian, banyak orang yang mampu qiyaamul lail, membaca al-qur’an, atau ibadah berat lainnya, namun hatinya belum mampu menerima atas ketetapan Allah berupa anugerah kebaikan yang Allah berikan kepada orang lain. Hatinya masih saja terbesit rasa iri kenapa bukan dirinya saja yang mendapat anugerah tersebut. Lebih keji lagi bila sampai timbul hasad hingga berharap kebaikan yang melekat pada saudaranya dapat lenyap secepatnya. Dan hatinya selalu merasa tidak puas dan merasa kurang atas apa-apa yang Allah bagikan kepadanya, hingga pelupuk matanya selalu digelayuti rasa miskin, kurang, dan tidak akan merasa cukup.

Allahu A`lam.

|Sragen, 25 Rabii`ul Awwal 1437 H/06 Januari 2016 M.

(Artikel Ini Pernah Dimuat Dalam Akun Facebook Abu Uwais Musaddad Pada Status No. 1008).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *