FAIDAH HADITS KE 1484 KITAB BULUGHUL MARAM

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

HADITS TENTANG ENAM HAK SESAMA MUSLIM

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ . قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.

Artinya: “Dari Abu Hurairah –radhiyallahu`anhu- bahwasannya Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda: Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Beliau ditanya: Apa 6 hak tersebut wahai Rasulullah? Beliau menjawab:

(1). Jika engkau bertemu dengannya, maka ucapkanlah salam.

(2). Jika dia mengundangmu maka datangilah.

(3). Jika dia meminta nasihat kepadamu maka berilah nasihat.

(4). Jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah maka balaslah (dengan memngucapkan doa: Yarhamukallah).

(5). Jika dia sakit maka jenguklah.

(6). Jika dia meninggal maka antarkanlah (jenazahnya ke kubur)”.

Riwayat Hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2162, At-Tirmidzi, no. 2737, An-Nasa’I, no. 1938, Dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani Dalam Ash-Shahihah, no. 832.

Faidah Hadits:

1. Dalam penggalan awal hadits ini terdapat anjuran mengucapkan salam, dintara keutamaan mengucapkan atau menebar salam adalah bahwa salam itu termasuk tanda baiknya keislaman seseorang.

Dari Abdullah bin Amr -radhiallahu anhu- dia berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: Islam apakah yang paling baik? Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab:

تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Artinya: “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”.[1]

Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Artinya: “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi. Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian”.[2]

2. Di antara adab-adab dalam menucapkan salam adalah sebagai berikut:

a. Seseorang sangat dianjurkan untuk mengucapkan salam secara sempurna, yaitu dengan mengucapkan, “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuhu.” Hal ini berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain -radhiyallahu anhu-, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَرَدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: عِشْرُوْنَ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ ثَلاَثُوْنَ

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengucapkan: “Assalaamu‘alaikum”. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya- kemudian ia duduk, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sepuluh”. Kemudian datang pula orang lain (yang kedua) memberi salam: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah”. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab salamnya, lalu laki-laki tersebut pun duduk, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Dua puluh”. Kemudian datang orang yang lain lagi (ketiga) dan mengucapkan salam: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh”. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab salamnya, kemudian laki-laki tersebut pun duduk dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tiga puluh”.[3]

b. Seseorang dilarang mengucapkan salam dengan lafazh:

عَلَيْكَ السَّلاَمُ

Artinya: “Semoga keselamatan senantiasa tercurah atasmu”.

Diriwayatkan oleh Abu Tamimah Al-Hujaimi dari seorang laki-laki yang berasal dari kaumnya. Dalam riwayat yang lain dikatakan laki-laki itu bernama Abu Jura Al-Hujaimi, dia berkata:

طَلَبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أَقْدِرْ عَلَيْهِ فَجَلَسْتُ، فَإِذَا نَفَرٌ هُوَ فِيْهِمْ وَلاَ أَعْرِفُهُ، وَهُوَ يُصْلِحُ بَيْنَهُمْ، فَلَمَّا فَرَغَ قَامَ مَعَهُ بَعْضُهُمْ فَقَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُلْتُ: عَلَيْكَ السَّلاَمُ، يَارَسُوْلَ اللهِ، عَلَيْكَ السَّلاَمُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، عَلَيْكَ السَّلاَمُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ السَّلاَمُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى، إِنَّ عَلَيْكَ السَّلاَمُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى، إِنَّ عَلَيْكَ السَّلاَمُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيَّ فَقَالَ: إِذَا لَقِيَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَلْيَقُلِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ، وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ، وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ.

Artinya: “Aku mencari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun aku tidak mendapatinya, kemudian aku duduk, tiba-tiba datang sekelompok orang dan beliau ada di antara mereka yang aku tidak mengenalnya, saat itu beliau sedang mendamaikan beberapa orang dari mereka (yang berselisih). Kemudian setelah selesai ada sebagian dari mereka yang berdiri bersama dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian berkata: Wahai Rasulullah. Tatkala aku melihat hal tersebut maka aku katakan: ‘Alaikas salaam ya Rasulullah, `alaikas salaam ya Rasulullah, `alaikas salaam ya Rasulullah (semoga keselamatan senantiasa tercurah atasmu, wahai Rasulullah, 3x). Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Janganlah engkau berkata seperti itu. Sesungguhnya `alaikas-salaam itu adalah salam kepada orang mati, sesungguhnya `alaikas-salaam itu adalah salam kepada orang mati, sesungguhnya `alaikas-salaam itu adalah salam kepada orang mati. Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendekatiku seraya berkata: Apabila seseorang bertemu dengan saudaranya sesama muslim, hendaklah ia mengucapkan: Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah. Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan jawabannya kepadaku, seraya bersabda: Wa `alaika warahmatullaahi (dan semoga rahmat Allah juga ter-limpah atasmu, 3x)”.[4]

c. Apabila bertemu dengan seorang teman tanpa karena sebab safar atau perjalanan jauh, maka cukupkanlah dengan berjabat tangan disertai dengan ucapan salam (assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh) tanpa berpelukan, kecuali ketika menyambut kedatangannya dari bepergian, karena memeluknya pada saat tersebut sangat baik dan dianjurkan serta memberi bukti kerinduan. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik -radhiyallahu anhu-, ia berkata:

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا

Artinya: “Apabila Sahabat-Sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saling berjumpa, maka mereka saling berjabat tangan, dan apabila mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan”.[5]

d. Tidak dibenarkan mencukupkan salam hanya dengan isyarat (lambaian tangan) semata tanpa menyertainya dengan lafazh as-salaamu ‘alaikum. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu `anhu-, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْدِ، فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكْفِ وَاْلإِشَارَةِ

Artinya: “Janganlah kalian memberikan salam sebagaimana salamnya orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya cara Yahudi memberi salam adalah dengan (anggukan) kepala dan lambaian tangan atau dengan isyarat (tertentu)”.[6]

e. Berusaha sungguh-sungguh untuk menyebarkan salam, karena menebar salam akan menimbulkan sikap saling menyintai. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

Artinya: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu perbuatan apabila kalian lakukan niscaya akan membuat kalian saling mencintai satu sama lain? Sebarkanlah salam di antara kalian (ketika saling bertemu)”.[7]

f. Jangan memulai memberikan salam kepada orang kafir. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

لاَ تَبْدَؤُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِيْ طَرِيْقٍ فاَضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

Artinya: “Janganlah kalian memulai memberikan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di jalan maka paksalah mereka hingga mereka berada di jalan yang sempit”.[8]

g. Sunnahnya adalah yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak, yang berkendaraan memberi salam kepada pejalan kaki, akan tetapi jika yang lebih utama tidak juga memberikan salam maka yang lainlah yang hendaknya memberikan salam agar sunnah tersebut tidak hilang.

h. Memulai salam hukumnya sunnah sedangkan menjawabnya adalah fardhu kifayah, jika sebagian melakukannya maka yang lain gugur kewajibannya. Misalnya jika seseorang memberi salam atas sejumlah orang maka yang menjawabnya hanya seorang maka yang lain gugur kewajibannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Artinya: “Apabila kamu dihormati dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balalaslah dengan yang serupa”. (Surat An-Nisaa’: 86).

Ibnu ‘Abdil Barr dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hukum memulai mengucapkan salam adalah sunnah, sedangkan hukum membalas salam adalah wajib.[9]

i. Hendaknya tidak menjawab salam dengan cara sengaja bangkit berdiri mengkhususkan orang yang datang, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الْعِبَادُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa yang senang jika para hamba Allah berdiri (memberi hormat) kepadanya, maka silakan menempati tempat duduknya di dalam Neraka”.[10]

3. Dianjurkan memenuhi undangan

Misalnya seseorang mengundang dalam acara makan atau lainnya maka penuhilah! dan memenuhi undangan hukumnya sunnah mu’akkadah apalagi hal itu dapat menarik hati orang yang mengundang serta mendatangkan rasa cinta dan kasih sayang. Adapun memenuhi undangan pernikahan maka hukumnya adalah wajib dengan syarat-syarat yang telah dikenal.

4. Hadits “jika seseorang mengundangmu maka penuhilah” termasuk juga undangan untuk memberikan bantuan atau pertolongan.

Karena kita diperintahkan untuk menghadirinya, maka jika ada saudara kita yang memohon agar kita menolongnya untuk membawa sesuatu –misalnya- atau membuang sesuatu, maka kita diperintahkan untuk membantunya.

5. Dianjurkan memberi nasehat apabila ada seseorang yang meminta untuk dinasehati

Misalnya jika seseorang datang meminta nasihat dalam suatu masalah maka nasihatilah karena hal itu termasuk bagian dari haknya yang harus kita tunaikan, sebagaimana hadits Rasulullah –shallallahu`alaihi wa salllam-:

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ

Artinya: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya”.[11]

6. Jika seseorang datang tanpa meminta nasihat, namun pada diri orang tersebut terdapat bahaya atau perbuatan dosa yang akan dilakukannya, maka wajib bagi kita untuk menasihatinya walaupun perbuatan tersebut tidak diarahkan kepada kita, karena hal tersebut termasuk menghilangkan bahaya dan kemunkaran dari kaum muslimin.

7. Anjuran mendoakan orang yang bersin apabila orang tersebut mengucapkan Alhamdulillah setelah bersinnya.

8. Di antara adab-adab bersin adalah sebagai berikut:

a. Hendaknya orang yang bersin untuk menutup wajahnya dan merendahkan suaranya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ

Artinya: “Bahwasanya apabila Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersin, beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya”.[12]

b. Dianjurkan kepada orang yang bersin untuk mengucapkan alhamdulillaah sesudah ia bersin. Yaitu ucapan:

اَلْحَمْدُ للهِ

Artinya: “Segala puji bagi Allah”.[13]

c. Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan alhamdulillah) untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan:

يَرْحَمُكَ اللهُ

Artinya: Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu”.[14]

d. Apabila tidak mendengarnya mengucapkan al-hamdulillah, maka tidak perlu mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, dan tidak perlu mengingatkannya untuk mengucapkan hamdallah (ucapan alhamdulillaah).

e. Apabila orang yang bersin itu bersinnya lebih dari tiga kali, maka tidak perlu dijawab dengan ucapan yarhamukallah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهُ جَلِيْسُهُ، وَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلاَثٍ فَهُوَ مَزْكُوْمٌ وَلاَ تُشَمِّتْ بَعْدَ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya (setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang terkena flu dan jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali bersin”.[15]

f. Apabila ada orang yang bersin di saat imam sedang berkhutbah (Jum’at), maka ia harus mengucapkan alhamdulillah (dengan merendahkan suara) dan tidak wajib untuk dijawab yarhamu-kallah karena diam dikala khutbah Jum’at adalah wajib hukumnya.

g. Barangsiapa yang bersin sedangkan ia dalam keadaan tidak dibolehkan untuk berdzikir (memuji Allah), misalnya sedang berada di WC, apabila ia khilaf menyebutkan alhamdulillah, maka tidak wajib bagi kita yang mendengarkannya untuk menjawab yarhamukallah. Hal ini karena berdzikir di WC terlarang.

h. Bila ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:

يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

Artinya: “Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian”. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:

كَانَ الْيَهُوْدُ يَتَعَاطَسُوْنَ عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُوْنَ أَنْ يَقُوْلَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمُ اللهُ، فَيَقُوْلُ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ باَلَكُمْ

Artinya: “Orang-orang Yahudi berpura-pura bersin di ha-dapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam,- mereka berharap Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sudi mengatakan kepada mereka yarhamukumullah (semoga Allah memberikan rahmat bagi kalian), namun Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- hanya mengucapkan yahdikumullaah wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaanmu)”.[16]

9. Anjuran membesuk saudara kita yang sakit, hal ini merupakan hak orang sakit dan kewajiban saudara-saudaranya seiman, apalagi jika yang sakit memiliki kekerabatan, teman dan tetangga maka membesuknya sangat dianjurkan.

10. Di antara adab-adab bagi orang yang menjenguk orang sakit:

a. Niat yang ikhlas dan tujuan yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

مَنْ عَادَ مَرِيْضاً أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ أَيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ بِأَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلاً

Artinya: “Barangsiapa mengunjungi orang yang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah atau di jalan Allah, akan ada yang menyeru kepadanya, ‘Engkau telah berlaku mulia dan mulia pula langkahmu (dalam mengunjunginya), serta akan kau tempati rumah di Surga”.[17]

Tujuan yang baik ketika menjenguk orng sakit misalnya yang dikunjunginya adalah seorang ulama atau teman yang shalih, atau kita mengunjunginya dalam rangka untuk beramar ma’ruf atau mencegah kemunkaran yang dilakukan dengan lemah lembut atau dengan tujuan memenuhi kebutuhannya atau untuk melunasi hutangnya, atau untuk meluruskan agamanya atau untuk mengetahui tentang keadaannya.

b. Hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang sesuai ketika hendak menjenguk. Jangan sampai asal nylonong hingga memberatkan orang yang dijenguk dan pilihlah waktu yang tepat. Hendaknya meminta izin terlebih dahulu sebelum menjenguknya misalnya melalui sms atau telephone, mengetuk pintu rumahnya dengan pelan ketika telah sampai di rumahnya, menundukkan pandangannya, menyebutkan perihal dirinya, dan tidak berlama-lama karena bisa jadi itu dapat membuat yang sakit tambah lelah.

c. Hendaknya orang yang menjenguk mendo’akan orang yang sakit dengan kesembuhan dan kesehatan. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:

إِذَا دَخَلَ عَلَى مَنْ يَعُوْدُ قَالَ: لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ

Artinya: “Apabila beliau mengunjungi orang yang sakit, beliau berkata, ‘laa ba’-sa thahuurun insyaa Allaah (tidak mengapa semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, insya Allah)”.[18]

d. Hendaknya orang yang menjenguk mengusap bagian yang sakit dengan tangan kanan dan mengucapkan:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَماً

Artinya: “Ya Allah, Rabb pemelihara manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Mahamenyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan hanya kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sedikitpun penyakit”.[19]

e. Hendaknya orang yang menjenguk menundukkan pandangan (tidak menatap dengan tajam), sedikit bertanya, menunjukkan belas kasih kepada yang sakit, menasehatinya untuk senantiasa bersabar terhadap penderitaan sakitnya karena hal itu mengandung pahala yang besar dan mengingatkan agar tidak berkeluh kesah karena hal tersebut hanya akan menimbulkan dosa dan menghilangkan pahala.

f. Apabila melihat orang yang tertimpa cobaan musibah dan penyakit hendaklah berdo’a dengan suara yang pelan untuk keselamatan dirinya, do’a tersebut adalah:

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً

Artinya: “Segala puji bagi Allah Yang menyelamatkan aku dari musibah yang Allah timpakan kepadamu. Dan Allah telah memberikan kemuliaan kepadaku melebihi orang banyak”.[20]

11. Anjuran mengantarkan jenazah,

Hal ini juga merupakan hak seorang muslim atas saudaranya dan di dalamnya terdapat pahala yang besar. Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

Artinya: “Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya pahala satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth. Ada yang bertanya: “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lantas menjawab: “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar”.[21]

Dalam riwayat yang lain Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ ». قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

Artinya: “Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth. Ada yang bertanya: “Apa yang dimaksud dua qiroth?. Beliau menjawab: Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”.[22]

12. Masih banyak hak-hak sesama muslim yang lain selain keenam hak dan kewajiban ini.

Selain enam hak sesama muslim ini tentunya masih banyak hak-hak yang lain, namun kita mencukupkan diri dalam pembahasan ini untuk meluaskan hadits tersebut sajaa dulu. Untuk menyimpulkan hak-hak yang lain kita dapat menyimpulkan semua itu dalam sebuah hadits Rasulullah:

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ

Artinya: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya”.[23]

Segala puji untuk Allah yang dengan nikmat-Nya terselesaikan amal-amal shalih, tulisan ini adalah ringkasan dari materi kajian bulanan di Masjid Umar bin Khaaththab desa Supilopong Kec. Tomini Sulawesi Tengah. Pada hari Kamis malam Jum’at 16 Rabi’ul Akhir 1439 H/4 Januari 2018 M.

________________________

[1] Riwayat Al-Bukhari no. 11, 27 dan Muslim no. 39.

[2] Riwayat Muslim no. 54.

[3] Riwayat Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 986, Abu Dawud no. 5195 dan at-Tirmidzi no. 2689 dan beliau menghasankannya.

[4] Riwayat Abu Dawud no. 4084, at-Tirmidzi no. 2721, Ahmad V/63-64, dan yang lainnya. Lafazh hadits ini berdasarkan riwayat at-Tirmidzi.

[5] Riwayat Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no. 97 dan Imam al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa-id VIII/36, “Para perawinya adalah para perawi tsiqah”.

[6] Riwayat At-Tirmidzi no. 2695, dengan sanad hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah no. 2194.

[7] Riwayat Muslim no. 54, Abu Dawud no. 5193, Ibnu Majah no. 3692 dan Ahmad II/391, 442.

[8] Riwayat Muslim no. 2167, at-Tirmidzi no. 2701 dan Abu Dawud no. 5205.

[9] Subulus Salam, 7/7.

[10] Riwayat Abu Dawud no. 5229, at-Tirmidzi no. 2915, Ahmad IV/93, 100. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 357.

[11] Riwayat Muslim (no. 55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari.

[12] Riwayat Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205.

[13] Riwayat Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no. 2747.

[14] Riwayat Al-Bukhari no. 6226, Muslim no. 2994.

[15] Riwayat Abu Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 251. Lihat Shahiihul Jami’ no. 684.

[16] Riwayat Ahmad IV/400, al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad II/392 no. 940, Abu Dawud no. 5058, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 232, at-Tirmidzi no. 2739, al-Hakim IV/268. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi II/354 no. 2201.

[17] Riwayat At-Tirmidzi no. 2008, Ibnu Majah no. 1433, hasan. Lihat Misykaatul Mashaabih no. 5015 oleh Imam al-Albani.

[18] Riwayat Al-Bukhari no. 5656.

[19] Riwayat Al-Bukhari no. 5743 dan Muslim no. 2191 (46). Dan lafazh seperti ini berdasarkan riwayat Muslim.

[20] Riwayat At-Tirmidzi no. 3431 dan Ibnu Majah no. 3892. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 602.

[21] Riwayat Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945.

[22] HR. Muslim no. 945.

[23] Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad no. 5646, Abu Dawud no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426 ; dari Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma.

|Abu Uwais Musaddad

|Kotaraya, Sulawesi Tengah. Kamis  16 Rabi’ul Akhir 1439 H/4 Januari 2018 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *