FAEDAH HADITS RIYADHUS SHALIHIN (Hadits Ke 86) MASUK SURGA BUKAN KARENA AMAL SEMATA

Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَارِبُوا وَسَدِّدُوا وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ: وَلا أَنْتَ، قَالَ: وَلا أَنَا إِلا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ

Artinya: “Dari Abu Hurairah –radhiyallahu `anhu- ia berkata: Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda: Tetaplah menetapi yang benar dan bersikap lurus . Serta ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang selamat (dari siksa) sebatas karena amal perbuatannya semata. Para shahabat bertanya: apakah termasuk engkau juga wa hai Rasulullah? Beliau pun menjawab: termasuk juga aku, hanya saja Allah membentengi diriku dengan rahmat dan karunia-Nya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 5673, Muslim no. 2816).

SYARAH SINGKAT:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa Istiqamah itu dilakukan berdasarkan kemampuan, yang menjadi bukti hal tersebut adalah sabda Nabi “Tetaplah menetapi yang benar dan bersikap lurus”, yakni maknanya tetaplah bersiikap lurus pada apa-apa yang kalian diperintahkan padanya, dan bersemangatlah untuk menetapi kebenaran sesuai kemampuan. (Lihat Syarh Riyadhish-Shalihin, Jilid 1 hal. 327, Cetakan Daar Al-Kutub Al-`Alamiyyah. Karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).

Dalam istiqamah, manusia selalu punya celah, dan hal itu lumrah, karena fitrahnya manusia sering terjatuh dalam lupa dan salah.

Allah befirman:

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Artinya: “karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. (Surat Fushshilat: 06).

Asy-Syaikh Abdurrahman binn Nashir As-Sa`diy menjelaskan ayat ini: Oleh karena seorang hamba meskipun telah berusaha untuk istiqamah (tetap di atas syariat-Nya), namun pasti saja dalam menjalankannya terdapat kekurangan baik dalam melaksanakan perintah atau bahkan terkadang jatuh ke dalam maksiat, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk mengobatinya, yaitu dengan istighfar yang mengandung makna taubat, sebagaimana firmannya: “dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. (Lihat Taisiir Al-Kariimirrahmaan Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 745, Cetakan Maktabah An-Nubalaa’. Karya Asy-Syaikh Abdurrahmaan bin Nashir As-Sa`diy).

Manusia adalah makhluk bertebaran di muka bumi yang Allah jadikan sebagai makhluk yang mudah terjatuh dalam dosa, maka mereka yang paling bertaqwa bukan berarti yang suci dari dosa, namun yang apabila terjatuh dalam dosa mereka segera bertaubat kepada Allah Ta`ala. Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Artinya: “Setiap anak Adam banyak bersalah, dan sebaik-baik mereka yang banyak bersalah itu adalah yang paling banyak bertaubat”. (Riwayat At-Tirmidzi no. 2423, Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Lihat Shahiihul Jaami` no. 4515).

Bahkan Rasulullah –shalllallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُم

Artinya: “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah malah akan melenyapkan kalian dan Allah pasti mendatangkan (menciptakan yang baru) suatu kaum yang berbuat dosa yang kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, lalu Allah mengampuni dosa mereka”. (Riwayat Muslim no. 4936, Ahmad no. 7736, dari hadits Abu Hurairah –radhiyallahu`anhu-).

Kenapa Allah membuat sistem demikian? Kenapa Allah tidak menyukai adanya manusia yang tidak pernah berbuat dosa? Kenapa Allah lebih menyukai manusia yang berdosa lalu meminta ampun kepada-Nya?

Karena Dia Al-Ghaffar (Maha Pengampun), at-Tawwab (Maha Penerima Taubat), ar-Rahim (Maha Penyayang).

Karena orang yang tak pernah jatuh dalam dosa justru bisa terjatuh dalam `ujub (takjub atas kehebatan diri).

Karena Allah suka apabila hamba-Nya menyadari bahwa mereka memiliki Tuhan Yang Maha Pengampun. (Dari Abu Hurairah –radhiyallahu`anhu-, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda-:

إِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا – وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا – فَقَالَ رَبِّ أَذْنَبْتُ – وَرُبَّمَا قَالَ أَصَبْتُ – فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى . ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ، ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا أَوْ أَذْنَبَ ذَنْبًا ، فَقَالَ رَبِّ أَذْنَبْتُ – أَوْ أَصَبْتُ – آخَرَ فَاغْفِرْهُ . فَقَالَ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا – وَرُبَّمَا قَالَ أَصَابَ ذَنْبًا – قَالَ قَالَ رَبِّ أَصَبْتُ – أَوْ أَذْنَبْتُ – آخَرَ فَاغْفِرْهُ لِى . فَقَالَ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى – ثَلاَثًا – فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ

Artinya: “Sesungguhnya ada seorang hamba yang terjerumus dalam dosa (berbuat dosa), lalu ia berkata: “Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa), ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Kemudian ia berhenti sesuai yang Allah kehendaki. Lalu ia terjerumus lagi ke dalam dosa (berbuat dosa). Lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa) yang lain, ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Kemudian ia berhenti sesuai yang Allah kehendaki. Lalu ia terjerumus lagi ke dalam dosa (berbuat dosa). Lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa) yang lain, ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Ini disebut tiga kali. Rabb menambahkan: “Lakukanlah semau dia”. (Riwayat Al-Bukhari no. 7507 dan Muslim no. 2758). Silahkan baca syarahnya di sini).

Allah menyukai apabila ada hamba-Nya berjalan tertatih-tatih merintih karena begitu menyesali perbuatan dosanya lalu bersimpuh dan bersujud, seraya menangis, meminta ampunan kepada-Nya. Bahkan Allah sangat gembira bila ada hamba yang berdosa kemudian minta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Kata Nabi bahwa gembiranya Allah tatkala menerima taubat hamba-Nya melebihi gembiranya seorang musafir yang menemukan barang bawaanya yang hilang di belantara padang pasir.

Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- bersabda:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal pada hewan tunggangannya itulah tersimpan perbekalan makanan dan minumannya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil tali pengikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu. Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya”. (Riwayat Muslim no. 2747).

Manusia, diperintahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bersikap lurus dan menetapi kebenaran sesuai kemampuan. Orang yang paling bertaqwa dan memiliki sifat-sifat ketaqwaan bukanlah mereka yang suci dari dosa, namun bahkan yang pernah berdosa namun ketika ingat akan dosanya ia lalu menuju Allah untuk mengadukannya memohon ampunan-Nya, Allah sebutkan tentang-sifat-sifat mereka yang bertaqwa dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendir, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui”. (Surat Ali Imran: 135).

Kemudia dalam dalam hadits yang sedang kita bahas ini Rasulullah berpesan: “ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang selamat (dari siksa) sebatas karena amal perbuatannya semata”. Maknanya bahwa tidak akan ada yang bisa selamat dari neraka bila sebatas mengandalkan amalannya untuk membayar surga. Karena sebatas amalan tersebut tidak akan pernah cukup untuk membayar surga, tidak akan cukup dianggap sebagai bukti syukur atas banyaknya nikmat Allah yang tak sebanding dengan banyak dan baiknya amal ibadah mereka, tidak akan cukup dianggap sebagai bukti telah menunaikan semua hak Allah. Disebabkan karena Allah memberikan rahmat-Nyalah sehingga mereka mendapat ampunan-Nya.

Ketika Rasulullah –shallallahu`aaihi wa sallam- bersabda demikian, maka para Shahabat bertanya: apakah engkau pun demikian wahai Rasulullah, yakni masuk surga bukan semata-mata karena sebab amal ibadah? Beliau menjawab bahwa beliau pun demikian, masuk surga bukan karena semata-mata amal ibadah, bila bukan karena Allah telah menyelimutinya dengan rahmat niscaya tidak akan selamat dari neraka. Semua manusia seperti itu, meskipun ia adalah seorang Nabi atau pun wali ataupun memiliki derajat yang tinggi.

Bila ada yang berkata bahwa di sana ada dalil yang menjelaskan bahwa amal shalih itu menyelamatkan pelakunya dari api neraka dan memasukkannya ke dalam Surga, misalnya dalam surat An-Nahl: 97 Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Surat An-Nahl: 97).

Maka kita jawab bahwa yang tidak bisa kita terima adalah pemahaman bahwa masuknya surga seseorang itu karena semata-mata bayaran atas amalnya semasa di dunia, namun yang kita yakini adalah bahwa amal ibadah tersebut memang sebagai salah satu sebab pelakunya masuk ke dalam surga dan terhindar dari Neraka, hanya saja bukan sebagai satu-satunya alat tukar untuk meraih surga karena tidak akan sebanding untuk membayar nilai surga, sehingga bila amal yang tak seberapa itu mampu menjadi salah satu sebab masuk Surga dan terhindar dari Neraka sungguh itu karena ada kemurahan dan karunia yang Allah tumpahkan untuknya.

Dari hadits ini kita paham bahwasanya manusia tidak sepantasnya memiliki sifat ujub, bangga terhadap diri sendiri, merasa hebat dalam banyaknya amal shalih, padahal itu semua belum seberapa dan masih sangat kurang bila dibanding dengan hak Allah yang mesti ditunaikan hamba-Nya.

FAIDAH HADITS:

1). Karunia dan Rahmat Allah terhadap hamba-hamba-Nya lebih luas ketimbang amal perbuatan mereka. (Lihat Kitab Bahjatun-nadzirin Syarhu Riyadhish-shalihin, Hal. 147 Cet. Daar Ibnul Jauziy. Karya Asy-Syaikh Salim bin `ied Al-Hilaliy).

2). Di dalam hadits ini terdapat petunjuk tentang cara memperoleh kebaikan yaitu dengan beristiqamah pada manhaj (syariat) Allah tanpa berlebihan, dan tanpa meremehkannya. ((Lihat Kitab Bahjatun-nadzirin Syarhu Riyadhish-shalihin, Hal. 147 Cet. Daar Ibnul Jauziy. Karya Asy-Syaikh Salim bin `ied Al-Hilaliy)).

3). Tidak sepatutnya seorang hamba tertipu oleh amal (perbuatan) nya, sehingga dia hidup berbekal rasa harap saja tanpa danya rasa takut kepada Alllah, inilah yang mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam kebinasaan, yakni karena ujub (kagum) terhadap amalnya. ((Lihat Kitab Bahjatun-nadzirin Syarhu Riyadhish-shalihin, Hal. 147 Cet. Daar Ibnul Jauziy. Karya Asy-Syaikh Salim bin `ied Al-Hilaliy).

4). Amal perbuatan (ibadah) semata tidaklah dapat memasukkan manusiake surga, amal ibadah tersebut tidaklah cukup sebagai nilai tukar untuk membayar surga karena surga Allah terlalu mulia, karena tidak sebandingnya harga surga yang begitu mahal bila dibayar dengan amal ibadah, hanya saja amal tersebut sebagai sebab dan sebagai penentu tingkatan Surga Allah yang akan dimasukinya.

5). Bila bukan karena Rahmat Allah, kita tidak akan mampu beramal di dunia, dan di akhirat pun kita tak dapat mengandalkan amal kita untuk meraih Surga.

6). Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- sebagai Nabi terbaik pun masuk surga bukan karena bayaran atas amal ibadahnya, namun karena Allah meliputinya dengan rahmat-Nya, lalu bagimana dengan kita yang amalnya sedikit, malas, kotor, tentu lebih harus semangat memperbaiki diri dan merasa kerdil di hadapan Allah atas amal yang secuil ini.

7). Jangan putus asa dari rahmat Allah meskipun terkadang dalam istiqamah tersandung salah! Tetaplah menetapi kebenaran (al-haq). Semangatlah dan minta tolonglah kepada Allah agar mampu melaksanakan sebab-sebab istiqamah.

Semoga bermanfaat. Segala puji untuk Allah yang dengan nikmat-Nya terselesaikan amal-amal shalih, tulisan ini adalah faidah dari materi kajian pekanan di markaz kajian Riyadhush-Shalihin Desa Sumberagung Kec. Mepanga Sulawesi Tengah. Rabu Malam Kamis, 05 Dzulqa`dah 1439 H/18 Juli 2018 M.

|Kotaraya, Sulawesi Tengah. Kamis, 06 Dzulqa`dah 1439 H/19 Juli 2018 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *