SAMPAI KAPAN ALLAH MENGAMPUNI DOSA YANG TERULANG KEMBALI
Ditulis Oleh: Mukhlisin Abu Uwais
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu`anhu-, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda-:
إِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا – وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا – فَقَالَ رَبِّ أَذْنَبْتُ – وَرُبَّمَا قَالَ أَصَبْتُ – فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى . ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ، ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا أَوْ أَذْنَبَ ذَنْبًا ، فَقَالَ رَبِّ أَذْنَبْتُ – أَوْ أَصَبْتُ – آخَرَ فَاغْفِرْهُ . فَقَالَ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا – وَرُبَّمَا قَالَ أَصَابَ ذَنْبًا – قَالَ قَالَ رَبِّ أَصَبْتُ – أَوْ أَذْنَبْتُ – آخَرَ فَاغْفِرْهُ لِى . فَقَالَ أَعَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ غَفَرْتُ لِعَبْدِى – ثَلاَثًا – فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ
Artinya: “Sesungguhnya ada seorang hamba yang terjerumus dalam dosa (berbuat dosa), lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa), ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Kemudian ia berhenti sesuai yang Allah kehendaki. Lalu ia terjerumus lagi ke dalam dosa (berbuat dosa). Lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa) yang lain, ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Kemudian ia berhenti sesuai yang Allah kehendaki. Lalu ia terjerumus lagi ke dalam dosa (berbuat dosa). Lalu ia berkata: Wahai Rabbku, aku telah terjerumus dalam dosa (berbuat dosa) yang lain, ampunilah aku. Rabbnya menjawab: Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya? Ketahuilah, Aku telah mengampuninya. Ini disebut tiga kali. Rabb menambahkan: “Lakukanlah semau dia”. (Riwayat Al-Bukhari no. 7507 dan Muslim no. 2758).
SYARAH SINGKAT:
Makna hadits ini bukanlah anjuran “berbuat dosalah!!”, namun bahkan maknanya adalah “jangan sampai engkau merasa tak pernah berdosa!!”. Bila seseorang tak pernah berdosa, maksudnya bila seseorang tak pernah merasa berbuat dosa, sehingga ia terus dalam gelimang kelamnya maksiat dan durhaka kepada Rabb-nya, niscaya Allah akan membinasakan mereka dan menggantinya dengan ummat yang lain yang apabila berbuat dosa maka mereka tersadar dan segera bertaubat memohon ampun kepada Allah Ta`ala.
Mereka yang terjerumus dalam maksiat dan dosa, terjatuh dalam kubangan maksiat dan terjerembab lagi untuk ke sekian kalinya, bila memang setiap terjatuh alam dosa ia tetap bertaubat kepada Allah Ta`ala dengan tulus dan jujur dari hatinya, niscaya taubatnya akan diterima.
Bukti tentang hal tersebut adalah kisah murtadnya kaum muslimin di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagaimana kita ketahui bahwasannya dahulunya mereka adalah kafir, lalu masuk Islam, lalu murtad hingga menjadi kafir kembali, lalu kemudian masuk Islam lagi. Amalan mereka yang murtad, tentu jauh lebih buruk ketimbang kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang muslim, maka tentu penerimaan taubat untuk mereka yang muslim yang terjatuh lagi dan lagi ke dalam maksiat lebih diterima taubatnya ketimbang orang kafir yang jatuh lagi dan lagi dalam amalan murtad. Namun ini kita katakan bahwasanya penerimaan taubat ini bersyarat, bahwa sannya taubatnya yang pertama dan demikian pula taubat-taubat berikutnya yang mengiringinya haruslah taubat yang murni, taubat nashuha, jujur dari hatinya yang paling dalam, tidak sebatas di bibir atau tekad dzair semata.
Maka pembahasan kita ini bukanlah memotifasi untuk tidak usah istiqamah, atau agar terjatuh dalam salah kemudian jatuh lagi dan lagi. Bahkan dalam pembahasan ini, kita sebagai orang Islam tentu harus memohon kepada Allah agar diberikan hati yang istiqamah, hati yang selamat.
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- membuat bab khsusus untuk hadits ini dengan mengatakan “Bab Diterimanya Taubat Dari Dosa-Dosa, Meskipun Dosa-Dosa Dan Taubat Terulang-Ulang Kembali”.
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan dalam penjelasannya: “Permasalahan ini telah (dijelaskan) pada permulaan kitab Taubah, hadits ini nampak dari sisi dalalahnya, bahwa meskipun dosa terulang seratus kali, seribu kali atau lebih dan bertaubat setiap kali maka taubatnya diterima, dan berguguranlah dosanya. Kalau dia bertaubat dari semua (dosa) dengan bertaubat sekali setalah semua (dosa) maka taubatnya sah”. (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibnil Hajaaj, Jilid 17 Halaman 78, Cetakan Daarul Ma`rifah Beirut Lebanon).
Ibnu Rajab Al-Hanbali –rahimahullah- berkata: ‘Umar bin Abdul Azizi berkata: ‘Wahai manusia barangsiapa yang berkubang dalam dosa, maka beristigfarlah kepada Allah dan bertaubat. Jika ia kembali (berdosa lagi), maka memohonlah ampun kepada Allah dan bertaubat. Kalau kembali (berdosa lagi), hendaknya beristigfar dan bertaubat. Karena sesungguhnya ia adalah kesalahan-kesalahan yang dibelitkan di pundak seseorang. Sehingga kebinasaanlah bila ia terus menerus (melakukannya).
Maknanya bahwa seorang hamba memang akan melakukan apa yang telah ditentukan dosa kepadanya (memang ditaqdirkan akan jatuh dalam dosa, tidak akan suci dari maksiat). Sebagaimana sabda Nabi -sallallahu’alaihi wa sallam-:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Allah -`Azza wa Jalla- telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tak mungkin dihindari. Maka zinanya mata adalah dengan melihat, zinanya lisan adalah dengan ucapan, sedangkan nafsu berkeinginan dan berangan-angan, berakhir kemaluanlah sebagai pembenar atau tidaknya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 6243, Muslim no. 2657, Ahmad no. 10920, Abu Dawud no. 2152).
(Meskipun Allah menaqdirkan demikian -sesuai yang Allah kehendadki-) Namun Allah membuatkan seorang hamba jalan keluar dari jeruji dosanya, jalan keluar itu adalah taubat dan istighfar. Jika mereka menempuhnya maka akan terlepas dari kejelekan dan dosa, namu bila terus menerus melakukan dosa (tanpa bertaubat) maka dia akan hancur binasa”. (Lihat Jaami’ Ulum Wal Hikam [1/164-165] Dengan ringkas).
Syetan berkeinginan agar seseorang hamba jatuh dalam keputusasaan sehingga terhalangi dari taubat dan kembali (kepada-Nya). Syetan akan menakut-nakuti bahwa taubatnya sudah terlalu banyak dan sia-sia, syetan akan melemahkan dengan pandangan bahwa unntuk apa bertaubat toh nanti akan bermaksiat lagi, Syetan akan mengajak untuk menunda taubat agar sekalian saja saat hampir mati. Maka jangan tertipu dengan syetan!! Sebanyak apapun dosa kita dan sesering apa pun kita terjatuh dalam salah, sebanyak itu pula kita berusaha mengadukannya kepada Allah untuk mendapatkan ampunanannya, biarkan saja syetan yang bosan dengan tekad kita memoon ampun, jangan sampai kita yang bosan dan akhirnya meninggalkan taubat.
FAIDAH HADITS:
1). Luasnya karunia Allah dan luasnya ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
2). Seberapa pun besar dosa seorang hmba, itu adalah kecil bila disandingkan dengan ampunan Allah yang jauh lebih besar lagi.
3). Allah tampakkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam keadaan amalan yang dimiliki sebagian hamba, ini termasuk perkara ghaib yang Allah tampakkan kepada beliau.
4). Hamba Allah yang sholih, setaqwa apapun dirinya, ia bisa saja terjerumus dalam maksiat dan dosa. Akan tetapi ia tidak terus menerus melakukan dosa tersebut bahkan segera kembali menuju Allah untuk memohon ampun dan bertaubat.
5). Mengakui dosa dan kesalahan adalah di antara sebab datangnya ampunan. Bahkan di antara jalan keteladanan para Nabi yang mereka contohkan adalah tentang mengakui dosa. Nabi Adam dan Hawa’ mengakui dosa mereka (Lihat Surat Al-A’raf: 23), Nabi Nuh mengakui dosanya (Lihat Surat Huud: 47), Nabi Yunus mengakui dosanya (Lihat Surat Al-Anbiyaa: 87), Nabi Musa mengakui dosanya (Lihat Surat Al-Qashash: 16), saudara-saudaranya Nabi Yusuf mengakui dosanya (Lihat Surat Yusuf: 97), Ratu Bilqis mengakui dosanya (Lihat Surat An-Naml: 44).
6). Hadits ini menunjukkan keutamaan berilmu tentang Allah dan mengetahui nama serta sifat-Nya yang mulia karena dalam hadits disebutkan: “Apakah hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa dan akan menyiksa hamba-Nya.”
7). Keutamaan memohon ampun kepada Allah, sebagian generasi salaf memandang sunnah memberi tambahan dalam kalimat “astaghfirullah” (Aku memohon ampun kepada Allah) dengan kalimat “wa atuubu ilaih” (dan aku bertaubat kepada-Nya). (Lihat Syarah Arba`in An-Nawawiyyah, hal. 834. Karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas).
8). Sesungguhnya Allah mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki.
9). Bukanlah syarat taubat itu seorang hamba tidak boleh kembali pada dosa yang telah diperbuat. Namun syaratnya adalah jika ia ternyata kembali berbuat dosa, ia harus bertaubat kembali dengan jujur dari hatinya kepada Allah Ta`la. Dan Allah Maha Mengetahui isi hati.
10). Siapa yang jujur dalam taubat dan istighfarnya, maka Allah pasti akan mengampuni dosanya walau ia berbuat dosa berulang dan kembali berulang.
11). Hadits ini menunjukkan bahwa Allah berbicara, memiliki sifat kalam. Dalil dalam hal ini di antaranya adalah firman Allah -subhanahu wa ta`ala:
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ
Artinya: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia)”. (Surat Al-Baqarah: 253).
12). Lafazh hadits yang menyebutkan, “Lakukanlah semau dia”, ini adalah janji dari Allah berupa ampunan ketika seorang hamba bertaubat. Dan hadits ini bukanlah izin untuk mengulangi dosa lagi.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas menjelaskan hadits ini dengan mengatakan: “maksudnya, orang tersebut selalu dalam kondisi seperti itu, jika ia berbuat dosa, ia beristighfar yang disertai dengan sikap tidak terus menerus berbuat dosa (Lihat Syarah Arba`in An-Nawawiyyah, hal. 833. Karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas).
13). Tidak ada hujjah yang menunjukkan tentang bolehnya berbuat dosa, bukankah Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ اللَّهَ لا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji. Mengapa kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?”. (Surat Al-A`raf: 28).
Allah juga berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا
14). Istighfar yang paling sempurna adalah istighfar yang disertai dengan meninggalkan sikap terus menerus berbuat dosa. Itulah taubat nashuha (hakiki, yang tulus murni). Jika seseorang berkata: “Aku memohon ampun kepada Allah” namun ia tidak berhenti dari dosanya dengan hatinya, maka ia seperti orang yang meminta ampun kepada Allah dengan sebatas ucapan lisannya berkata: “ya Allah ampunilah aku” (sebatas itu, tanpa mengiringinya dengan taubat). Doa tersebut baik dan ada harapan bahwa doanya akan dikabulkan. (Lihat Syarah Arba`in An-Nawawiyyah, hal. 834. Karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas). Namun ia tidak dianggap sebagai orang yang bertaubat, atau taubatnya dusta, karena taubat tidak sah jika sikap terus-menerus berbuat dosa itu masih ia pupuk dengan subur.
Artinya: “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya”. (Surat Al-Baqarah: 187).
15). Hadits ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak.
16). Yang diingat dari hadits ini bukanlah semata-mata tentang seringnya ia jatuh dalam dosa, tapi perhatikan bagaimana ia memiliki jeda waktu untuk berusaha menjadi baik walau akhirnya terjerembab lagi dalam maksiat.
17). Sampai kapan Allah mengampuni dosa yang terulang kembali? Allah masih menerima taubat hamba-Nya selama nafasnya belum sampai dikerongkongan.
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”. (Rriwayat At Tirmidzi no. 3537, Al-Hakim [IV/257], Ibnu Majah no. 4253).
Allah masih menerima taubat hamba-Nya selama matahari bbelum terbit dari barat.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat”. (Riwayat Muslim no. 2759).
Semoga bermanfaat. Segala puji untuk Allah yang dengan nikmat-Nya terselesaikan amal-amal shalih.
|Kotaraya, Sulawesi Tengah. Kamis, 06 Dzulqa`dah 1439 H/19 Juli 2018 M.